Belakangan saya sering mempertanyakan hal ini pada diri sendiri. “Sudahkah komunitas / organisasi sosial telah betul-betul hadir di tengah masyarakat kita?” Ini tak terlepas pula dari betapa banyaknya persoalan sosial yang melanda bangsa kita. Sungguh, itu semua bisa terurai di tengah menjamurnya beragam Gerakan sosial. Namun anehnya kehadiran komunitas / organisasi sosial masih belum banyak membantu permasalahan nyata di lapangan. Di dunia pendidikan saja masih kerap kita jumpai masalah kekerasan. Data dari Badan Litbang Kemendikbud (2017) menunjukkan kesiapan anak didik kita dalam aspek sosial emosional berada di bawah 60%. Bahkan di provinsi Papua serta Papua Barat hanya mencapai sekitar 30% saja. Sepertinya ada yang salah dengan kita. Tapi ini jelas menjadi urgensi bagi kita semua. Ya. Para stakeholder tak lagi bisa menjalankan komunitas / organisasi sosial dengan oritentasi sebatas seremonial. Harus proaktif memberi!
Dari Eventual Jadi Loyalitas
Bulan lalu (9/11/2019), saya mewakili komunitas Sedekah Buku Indonesia menghadiri gathering antar komunitas dari berbagai bidang yang diadakan platform campaign.com. Memang menyoal charity (amal) tak sebatas membuat kegiatan ataupun gerakan yang bersifat eventual saja. Arti charity sebenarnya jauh lebih dari itu. Charity mesti kita maknai sebagai ketulusan serta kerelaan mengurusi dinamika satu atau lebih persoalan kehidupan di alam semesta ini. Dan acara berjejaring antar komunitas ini menjadi momentum yang menegaskan sekaligus menguatkan kembali visi tiap komunitas yang hadir.
Lalu kami semua diajak untuk mendengarkan kegelisahan dari tiap perwakilan komunitas yang hadir. Di sini, saya banyak menjumpai kegelisahan dari berbagai persoalan yang mereka hadapi: stigma masyarakat yang cenderung menghakimi, kesetaraan gender, pembiaran berlarut-larut kerusakan lingkungan, perlakuan dan hak penyandang disabilitas, dan sebagainya. Tercermin betapa rendahnya kesadaran publik memberi ruang lebih bagi permasalahan-permasalahan yang memang kerap luput dari perhatian kita. Celakanya kita seringkali membiarkan diri terperangkap dalam perpspektif searah saja; dan bahkan lebih parahnya menyangkal kebenaran yang ada. Saya khawatir ini justru malah mengecilkan hati komunitas / organisasi sosial yang lain untuk ikut menyuarakan apa yang tengah mereka perjuangkan.
Sebaliknya dari pihak jajaran komunitas / organisasi sosial maupun nirlaba juga diharapkan agar tidak berhenti sampai sebatas pada perayaan eventual tanpa adanya keberlanjutan. Setidaknya tahapan awal yang bisa kita tempuh ialah merubah perspektif tentang memberi dari yang bersifat eventual menjadi sebuah loyalitas. Loyalitas sendiri dapat dibangun dengan cara yang amat sederhana: melibatkan diri secara intensif ataupun memasukkan keterlibatan intensif ke dalam mekanisme pada kegiatan komunitas / organisasi. Itulah langkah pertama yang bisa mengantarkan suatu komunitas / Lembaga memiliki keberlanjutan gerakan yang proaktif memberi.
Kebermanfaatan: Kesadaran dan Dampak Kolektif
Seringkali kita merasa seakan telah berbuat atau menghasilkan sesuatu dari tiap aksi amal yang kita lakukan. Tidak! Keberlanjutannya tidak akan bertahan lama. Sebab hasil dari upaya charity itu sangat jelas: kebermanfaatan bagi banyak orang. Dan ini memerlukan, mengajak kita menumbuhkan kesadaran bersama sehingga bisa membawa dampak kolektif. Jadi harus berusaha lebih giat dan lebih keras dalam upaya proaktif memberi.
Bermula dari terbangunnya kesadaran akan pembelajaran hidup. Di antaranya rasa cukup dan dukungan semesta. Di Sedekah Buku Indonesia, kami bisa bersinergi menjalankan roda kegiatan secara progresif karena kesadaran terhadap kedua hal tadi. Rasa cukup datang dari ikhtiar memberi yang ikhlas, melampaui segala worldly measure yang ada di dunia ini (penghasilan, kemapanan, fasilitas, dan seterusnya). Dan kami juga percaya bahwa kebaikan demi kebaikan yang terus mendatangi Sedekah Buku Indonesia sendiri tak pernah terlepas dari dukungan semesta. Makin sejalan visi kita dengan semesta, makin kerap pula ia datangkan pertolongan untuk kita. Sudah selayaknya nilai-nilai pembelajaran hidup seperti ini digaungkan seluruh komunitas / organisasi sosial, baik lewat visi maupun mekanisme kerjanya.
Lalu kesadaran tadi naik kelas menjadi satu privilege tersendiri. Dan perlu diingat bahwa rasa privilege berasal dari konsistensi menjaga semangat berdedikasi serta visi “Helping, Caring and Loving” sedari awal. Bukan perkara mudah mengatasi rasa rugi dalam diri yang sebetulnya cuma persoalan hati. Di Sedekah Buku Indonesia, perlahan kami bersama belajar melepaskan diri dari pamrih serta rasa ego (self-interest) seperti keinginan memperkaya diri dan sebatas menjaga eksistensi saja; membangun hubungan baik dalam hidup bersama (dengan beragam karakter) dan berorganisasi; memilah lingkaran pertemanan; mengolah ketulusan; dan lainnya. Hal-hal demikian tanpa sadar merubah preferensi berkegiatan kita yang tadinya melulu orientasi diri menjadi keralaan berbagi. Dari privilege, kemudian tumbuh dan bertransformasi jadi kesediaan melayani. Itulah yang memungkinkan komunitas / organisasi bisa membawa dampak berskala masif pada khalayak luas.
Daya Upaya Proaktif Memberi
Sejatinya, terwujudnya kesadaran dan dampak kolektif merupakan sebuah perjalanan yang mengantarkan komunitas / organisasi menuju kiprah kebermanfaatan bagi khalayak banyak. Inilah yang mesti jadi penekanan dan sering diangkat pada berbagai kesempatan tukar pikiran antar komunitas / organisasi sosial dan nirlaba. Saya ingin mengambil contoh satu platform yang ikut menghadiri Konferensi Pendidikan Indonesia (KPI) 2019 beberapa hari lalu (30/11/2019). Adalah platform Parakerja (parakerja.com) yang memberdayakan para penyandang beragam jenis disabilitas. Salah satu cerita keberhasilan yang begitu menyentuh yakni bagaimana platform ini memungkinkan seorang tunadaksa bermagang di Apple Academy setelah menjalani pelatihan selama tiga setengah bulan. Bahkan Apple Academy pun sampai berkeinginan membuatkan komputer khusus bagi sang penyandang tunadaksa tadi. Sungguh mengharubirukan batin. Inilah keteladanan yang patut seluruh jajaran komunitas / organisasi -dan juga kita semua- ikuti dalam daya upaya mewujudkan kiprah proaktif memberi guna mencapai kebermanfaatan sosial nyata.
Gaya Hidup
Sudah sepantasnya kita jadikan tindakan proaktif memberi sebagai gaya hidup. Semua komunitas / organisasi perlu mendorong segenap pihak di dalamnya berpadu dalam ikhtiar proaktif memberi, meneguhkan ikhitiar tadi sebagai etika sentral, dan menggalakannya hingga mencapai level gaya hidup. Demikian pun tiap kita dituntut mengisi keseharian dengan gaya hidup proaktif memberi senyatanya. Bekal utama yang menghadirkan terus bermunculannya kiprah kebermanfaatan meluas dari komunitas demi komunitas, organisasi demi organisasi.
Malah semestinya rancangan menuju langkah proaktif memberi mesti kita angkat jadi satu budaya, yakni budaya kesibukan bermakna. Dan gaya hidup sejatinya adalah cerminan bangsa akan keseriusan mendukung juga membangun budaya kesibukan bermakna tadi. Kalau Cuma berhenti sampai sebatas slogan semata…. Duh!… Hanya akan membuat negara dan masyarakatnya makin kian morat-marit saja.
Dukungan Semesta
Sebab proaktif memberi tak melulu soal uang saja, melainkan lebih kepada penguatan visi dan karakter kita. Tanpa sadar, penguatan itu memupuk sense of belonging kita yang selayaknya bermula, bertumbuh dan berbagi dalam masyarakat. Dan outcome inti dari kiprah proaktif memberi sendiri tak lain terciptanya pemberdayaan masyarakat berkelanjutan yang makin meninggikuatkan esensi kehidupan bergotong royong. Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu kutipan, “Right circle is the one that helping and enabling us to live in right attitude, morally and spiritually.” Jadi mari buat hidup lebih produktif dan bermakna.
Juan Karnadi Digital dan Publikasi (Yayasan Bayi Prematur Indonesia) Volunteer JABODETABEK Sedekah Buku Indonesia
Belakangan saya sering mempertanyakan hal ini pada diri sendiri. “Sudahkah komunitas / organisasi sosial telah betul-betul hadir di tengah masyarakat kita?” Ini tak terlepas pula dari betapa banyaknya persoalan sosial yang melanda bangsa kita. Sungguh, itu semua bisa terurai di tengah menjamurnya beragam Gerakan sosial. Namun anehnya kehadiran komunitas / organisasi sosial masih belum banyak membantu permasalahan nyata di lapangan. Di dunia pendidikan saja masih kerap kita jumpai masalah kekerasan. Data dari Badan Litbang Kemendikbud (2017) menunjukkan kesiapan anak didik kita dalam aspek sosial emosional berada di bawah 60%. Bahkan di provinsi Papua serta Papua Barat hanya mencapai sekitar 30% saja. Sepertinya ada yang salah dengan kita. Tapi ini jelas menjadi urgensi bagi kita semua. Ya. Para stakeholder tak lagi bisa menjalankan komunitas / organisasi sosial dengan oritentasi sebatas seremonial. Harus proaktif memberi!
Dari Eventual Jadi Loyalitas
Bulan lalu (9/11/2019), saya mewakili komunitas Sedekah Buku Indonesia menghadiri gathering antar komunitas dari berbagai bidang yang diadakan platform campaign.com. Memang menyoal charity (amal) tak sebatas membuat kegiatan ataupun gerakan yang bersifat eventual saja. Arti charity sebenarnya jauh lebih dari itu. Charity mesti kita maknai sebagai ketulusan serta kerelaan mengurusi dinamika satu atau lebih persoalan kehidupan di alam semesta ini. Dan acara berjejaring antar komunitas ini menjadi momentum yang menegaskan sekaligus menguatkan kembali visi tiap komunitas yang hadir.
Lalu kami semua diajak untuk mendengarkan kegelisahan dari tiap perwakilan komunitas yang hadir. Di sini, saya banyak menjumpai kegelisahan dari berbagai persoalan yang mereka hadapi: stigma masyarakat yang cenderung menghakimi, kesetaraan gender, pembiaran berlarut-larut kerusakan lingkungan, perlakuan dan hak penyandang disabilitas, dan sebagainya. Tercermin betapa rendahnya kesadaran publik memberi ruang lebih bagi permasalahan-permasalahan yang memang kerap luput dari perhatian kita. Celakanya kita seringkali membiarkan diri terperangkap dalam perpspektif searah saja; dan bahkan lebih parahnya menyangkal kebenaran yang ada. Saya khawatir ini justru malah mengecilkan hati komunitas / organisasi sosial yang lain untuk ikut menyuarakan apa yang tengah mereka perjuangkan.
Sebaliknya dari pihak jajaran komunitas / organisasi sosial maupun nirlaba juga diharapkan agar tidak berhenti sampai sebatas pada perayaan eventual tanpa adanya keberlanjutan. Setidaknya tahapan awal yang bisa kita tempuh ialah merubah perspektif tentang memberi dari yang bersifat eventual menjadi sebuah loyalitas. Loyalitas sendiri dapat dibangun dengan cara yang amat sederhana: melibatkan diri secara intensif ataupun memasukkan keterlibatan intensif ke dalam mekanisme pada kegiatan komunitas / organisasi. Itulah langkah pertama yang bisa mengantarkan suatu komunitas / Lembaga memiliki keberlanjutan gerakan yang proaktif memberi.
Kebermanfaatan: Kesadaran dan Dampak Kolektif
Seringkali kita merasa seakan telah berbuat atau menghasilkan sesuatu dari tiap aksi amal yang kita lakukan. Tidak! Keberlanjutannya tidak akan bertahan lama. Sebab hasil dari upaya charity itu sangat jelas: kebermanfaatan bagi banyak orang. Dan ini memerlukan, mengajak kita menumbuhkan kesadaran bersama sehingga bisa membawa dampak kolektif. Jadi harus berusaha lebih giat dan lebih keras dalam upaya proaktif memberi.
Bermula dari terbangunnya kesadaran akan pembelajaran hidup. Di antaranya rasa cukup dan dukungan semesta. Di Sedekah Buku Indonesia, kami bisa bersinergi menjalankan roda kegiatan secara progresif karena kesadaran terhadap kedua hal tadi. Rasa cukup datang dari ikhtiar memberi yang ikhlas, melampaui segala worldly measure yang ada di dunia ini (penghasilan, kemapanan, fasilitas, dan seterusnya). Dan kami juga percaya bahwa kebaikan demi kebaikan yang terus mendatangi Sedekah Buku Indonesia sendiri tak pernah terlepas dari dukungan semesta. Makin sejalan visi kita dengan semesta, makin kerap pula ia datangkan pertolongan untuk kita. Sudah selayaknya nilai-nilai pembelajaran hidup seperti ini digaungkan seluruh komunitas / organisasi sosial, baik lewat visi maupun mekanisme kerjanya.
Lalu kesadaran tadi naik kelas menjadi satu privilege tersendiri. Dan perlu diingat bahwa rasa privilege berasal dari konsistensi menjaga semangat berdedikasi serta visi “Helping, Caring and Loving” sedari awal. Bukan perkara mudah mengatasi rasa rugi dalam diri yang sebetulnya cuma persoalan hati. Di Sedekah Buku Indonesia, perlahan kami bersama belajar melepaskan diri dari pamrih serta rasa ego (self-interest) seperti keinginan memperkaya diri dan sebatas menjaga eksistensi saja; membangun hubungan baik dalam hidup bersama (dengan beragam karakter) dan berorganisasi; memilah lingkaran pertemanan; mengolah ketulusan; dan lainnya. Hal-hal demikian tanpa sadar merubah preferensi berkegiatan kita yang tadinya melulu orientasi diri menjadi keralaan berbagi. Dari privilege, kemudian tumbuh dan bertransformasi jadi kesediaan melayani. Itulah yang memungkinkan komunitas / organisasi bisa membawa dampak berskala masif pada khalayak luas.
Daya Upaya Proaktif Memberi
Sejatinya, terwujudnya kesadaran dan dampak kolektif merupakan sebuah perjalanan yang mengantarkan komunitas / organisasi menuju kiprah kebermanfaatan bagi khalayak banyak. Inilah yang mesti jadi penekanan dan sering diangkat pada berbagai kesempatan tukar pikiran antar komunitas / organisasi sosial dan nirlaba. Saya ingin mengambil contoh satu platform yang ikut menghadiri Konferensi Pendidikan Indonesia (KPI) 2019 beberapa hari lalu (30/11/2019). Adalah platform Parakerja (parakerja.com) yang memberdayakan para penyandang beragam jenis disabilitas. Salah satu cerita keberhasilan yang begitu menyentuh yakni bagaimana platform ini memungkinkan seorang tunadaksa bermagang di Apple Academy setelah menjalani pelatihan selama tiga setengah bulan. Bahkan Apple Academy pun sampai berkeinginan membuatkan komputer khusus bagi sang penyandang tunadaksa tadi. Sungguh mengharubirukan batin. Inilah keteladanan yang patut seluruh jajaran komunitas / organisasi -dan juga kita semua- ikuti dalam daya upaya mewujudkan kiprah proaktif memberi guna mencapai kebermanfaatan sosial nyata.
Gaya Hidup
Sudah sepantasnya kita jadikan tindakan proaktif memberi sebagai gaya hidup. Semua komunitas / organisasi perlu mendorong segenap pihak di dalamnya berpadu dalam ikhtiar proaktif memberi, meneguhkan ikhitiar tadi sebagai etika sentral, dan menggalakannya hingga mencapai level gaya hidup. Demikian pun tiap kita dituntut mengisi keseharian dengan gaya hidup proaktif memberi senyatanya. Bekal utama yang menghadirkan terus bermunculannya kiprah kebermanfaatan meluas dari komunitas demi komunitas, organisasi demi organisasi.
Malah semestinya rancangan menuju langkah proaktif memberi mesti kita angkat jadi satu budaya, yakni budaya kesibukan bermakna. Dan gaya hidup sejatinya adalah cerminan bangsa akan keseriusan mendukung juga membangun budaya kesibukan bermakna tadi. Kalau Cuma berhenti sampai sebatas slogan semata…. Duh!… Hanya akan membuat negara dan masyarakatnya makin kian morat-marit saja.
Dukungan Semesta
Sebab proaktif memberi tak melulu soal uang saja, melainkan lebih kepada penguatan visi dan karakter kita. Tanpa sadar, penguatan itu memupuk sense of belonging kita yang selayaknya bermula, bertumbuh dan berbagi dalam masyarakat. Dan outcome inti dari kiprah proaktif memberi sendiri tak lain terciptanya pemberdayaan masyarakat berkelanjutan yang makin meninggikuatkan esensi kehidupan bergotong royong. Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu kutipan, “Right circle is the one that helping and enabling us to live in right attitude, morally and spiritually.” Jadi mari buat hidup lebih produktif dan bermakna.
Juan Karnadi Digital dan Publikasi (Yayasan Bayi Prematur Indonesia) Volunteer JABODETABEK Sedekah Buku Indonesia
Belakangan saya sering mempertanyakan hal ini pada diri sendiri. “Sudahkah komunitas / organisasi sosial telah betul-betul hadir di tengah masyarakat kita?” Ini tak terlepas pula dari betapa banyaknya persoalan sosial yang melanda bangsa kita. Sungguh, itu semua bisa terurai di tengah menjamurnya beragam Gerakan sosial. Namun anehnya kehadiran komunitas / organisasi sosial masih belum banyak membantu permasalahan nyata di lapangan. Di dunia pendidikan saja masih kerap kita jumpai masalah kekerasan. Data dari Badan Litbang Kemendikbud (2017) menunjukkan kesiapan anak didik kita dalam aspek sosial emosional berada di bawah 60%. Bahkan di provinsi Papua serta Papua Barat hanya mencapai sekitar 30% saja. Sepertinya ada yang salah dengan kita. Tapi ini jelas menjadi urgensi bagi kita semua. Ya. Para stakeholder tak lagi bisa menjalankan komunitas / organisasi sosial dengan oritentasi sebatas seremonial. Harus proaktif memberi!
Dari Eventual Jadi Loyalitas
Bulan lalu (9/11/2019), saya mewakili komunitas Sedekah Buku Indonesia menghadiri gathering antar komunitas dari berbagai bidang yang diadakan platform campaign.com. Memang menyoal charity (amal) tak sebatas membuat kegiatan ataupun gerakan yang bersifat eventual saja. Arti charity sebenarnya jauh lebih dari itu. Charity mesti kita maknai sebagai ketulusan serta kerelaan mengurusi dinamika satu atau lebih persoalan kehidupan di alam semesta ini. Dan acara berjejaring antar komunitas ini menjadi momentum yang menegaskan sekaligus menguatkan kembali visi tiap komunitas yang hadir.
Lalu kami semua diajak untuk mendengarkan kegelisahan dari tiap perwakilan komunitas yang hadir. Di sini, saya banyak menjumpai kegelisahan dari berbagai persoalan yang mereka hadapi: stigma masyarakat yang cenderung menghakimi, kesetaraan gender, pembiaran berlarut-larut kerusakan lingkungan, perlakuan dan hak penyandang disabilitas, dan sebagainya. Tercermin betapa rendahnya kesadaran publik memberi ruang lebih bagi permasalahan-permasalahan yang memang kerap luput dari perhatian kita. Celakanya kita seringkali membiarkan diri terperangkap dalam perpspektif searah saja; dan bahkan lebih parahnya menyangkal kebenaran yang ada. Saya khawatir ini justru malah mengecilkan hati komunitas / organisasi sosial yang lain untuk ikut menyuarakan apa yang tengah mereka perjuangkan.
Sebaliknya dari pihak jajaran komunitas / organisasi sosial maupun nirlaba juga diharapkan agar tidak berhenti sampai sebatas pada perayaan eventual tanpa adanya keberlanjutan. Setidaknya tahapan awal yang bisa kita tempuh ialah merubah perspektif tentang memberi dari yang bersifat eventual menjadi sebuah loyalitas. Loyalitas sendiri dapat dibangun dengan cara yang amat sederhana: melibatkan diri secara intensif ataupun memasukkan keterlibatan intensif ke dalam mekanisme pada kegiatan komunitas / organisasi. Itulah langkah pertama yang bisa mengantarkan suatu komunitas / Lembaga memiliki keberlanjutan gerakan yang proaktif memberi.
Kebermanfaatan: Kesadaran dan Dampak Kolektif
Seringkali kita merasa seakan telah berbuat atau menghasilkan sesuatu dari tiap aksi amal yang kita lakukan. Tidak! Keberlanjutannya tidak akan bertahan lama. Sebab hasil dari upaya charity itu sangat jelas: kebermanfaatan bagi banyak orang. Dan ini memerlukan, mengajak kita menumbuhkan kesadaran bersama sehingga bisa membawa dampak kolektif. Jadi harus berusaha lebih giat dan lebih keras dalam upaya proaktif memberi.
Bermula dari terbangunnya kesadaran akan pembelajaran hidup. Di antaranya rasa cukup dan dukungan semesta. Di Sedekah Buku Indonesia, kami bisa bersinergi menjalankan roda kegiatan secara progresif karena kesadaran terhadap kedua hal tadi. Rasa cukup datang dari ikhtiar memberi yang ikhlas, melampaui segala worldly measure yang ada di dunia ini (penghasilan, kemapanan, fasilitas, dan seterusnya). Dan kami juga percaya bahwa kebaikan demi kebaikan yang terus mendatangi Sedekah Buku Indonesia sendiri tak pernah terlepas dari dukungan semesta. Makin sejalan visi kita dengan semesta, makin kerap pula ia datangkan pertolongan untuk kita. Sudah selayaknya nilai-nilai pembelajaran hidup seperti ini digaungkan seluruh komunitas / organisasi sosial, baik lewat visi maupun mekanisme kerjanya.
Lalu kesadaran tadi naik kelas menjadi satu privilege tersendiri. Dan perlu diingat bahwa rasa privilege berasal dari konsistensi menjaga semangat berdedikasi serta visi “Helping, Caring and Loving” sedari awal. Bukan perkara mudah mengatasi rasa rugi dalam diri yang sebetulnya cuma persoalan hati. Di Sedekah Buku Indonesia, perlahan kami bersama belajar melepaskan diri dari pamrih serta rasa ego (self-interest) seperti keinginan memperkaya diri dan sebatas menjaga eksistensi saja; membangun hubungan baik dalam hidup bersama (dengan beragam karakter) dan berorganisasi; memilah lingkaran pertemanan; mengolah ketulusan; dan lainnya. Hal-hal demikian tanpa sadar merubah preferensi berkegiatan kita yang tadinya melulu orientasi diri menjadi keralaan berbagi. Dari privilege, kemudian tumbuh dan bertransformasi jadi kesediaan melayani. Itulah yang memungkinkan komunitas / organisasi bisa membawa dampak berskala masif pada khalayak luas.
Daya Upaya Proaktif Memberi
Sejatinya, terwujudnya kesadaran dan dampak kolektif merupakan sebuah perjalanan yang mengantarkan komunitas / organisasi menuju kiprah kebermanfaatan bagi khalayak banyak. Inilah yang mesti jadi penekanan dan sering diangkat pada berbagai kesempatan tukar pikiran antar komunitas / organisasi sosial dan nirlaba. Saya ingin mengambil contoh satu platform yang ikut menghadiri Konferensi Pendidikan Indonesia (KPI) 2019 beberapa hari lalu (30/11/2019). Adalah platform Parakerja (parakerja.com) yang memberdayakan para penyandang beragam jenis disabilitas. Salah satu cerita keberhasilan yang begitu menyentuh yakni bagaimana platform ini memungkinkan seorang tunadaksa bermagang di Apple Academy setelah menjalani pelatihan selama tiga setengah bulan. Bahkan Apple Academy pun sampai berkeinginan membuatkan komputer khusus bagi sang penyandang tunadaksa tadi. Sungguh mengharubirukan batin. Inilah keteladanan yang patut seluruh jajaran komunitas / organisasi -dan juga kita semua- ikuti dalam daya upaya mewujudkan kiprah proaktif memberi guna mencapai kebermanfaatan sosial nyata.
Gaya Hidup
Sudah sepantasnya kita jadikan tindakan proaktif memberi sebagai gaya hidup. Semua komunitas / organisasi perlu mendorong segenap pihak di dalamnya berpadu dalam ikhtiar proaktif memberi, meneguhkan ikhitiar tadi sebagai etika sentral, dan menggalakannya hingga mencapai level gaya hidup. Demikian pun tiap kita dituntut mengisi keseharian dengan gaya hidup proaktif memberi senyatanya. Bekal utama yang menghadirkan terus bermunculannya kiprah kebermanfaatan meluas dari komunitas demi komunitas, organisasi demi organisasi.
Malah semestinya rancangan menuju langkah proaktif memberi mesti kita angkat jadi satu budaya, yakni budaya kesibukan bermakna. Dan gaya hidup sejatinya adalah cerminan bangsa akan keseriusan mendukung juga membangun budaya kesibukan bermakna tadi. Kalau Cuma berhenti sampai sebatas slogan semata…. Duh!… Hanya akan membuat negara dan masyarakatnya makin kian morat-marit saja.
Dukungan Semesta
Sebab proaktif memberi tak melulu soal uang saja, melainkan lebih kepada penguatan visi dan karakter kita. Tanpa sadar, penguatan itu memupuk sense of belonging kita yang selayaknya bermula, bertumbuh dan berbagi dalam masyarakat. Dan outcome inti dari kiprah proaktif memberi sendiri tak lain terciptanya pemberdayaan masyarakat berkelanjutan yang makin meninggikuatkan esensi kehidupan bergotong royong. Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu kutipan, “Right circle is the one that helping and enabling us to live in right attitude, morally and spiritually.” Jadi mari buat hidup lebih produktif dan bermakna.
Juan Karnadi Digital dan Publikasi (Yayasan Bayi Prematur Indonesia) Volunteer JABODETABEK Sedekah Buku Indonesia