Selamat datang para pembelajar! Semoga gairah belajar kalian tak sekedar jadi antusiasme belaka yang cepat menguap. Kelak tak ada lagi persepsi yang memaknai pendidikan sebagai interaksi pembelajaran searah belaka antara pendidik dengan muridnya, apalagi transfer ilmu semata. Sebab visi mendidik lebih dari sebatas belajar; melainkan menggerakkan kehidupan lewat ragam pengetahuan yang ada di dalamnya.
Wawasan Kontekstual
Pesta Pendidikan 2019 beberapa waktu lalu (02/05/2019) merupakan momentum bagi semua kita mengartikan wawasan secara kontekstual sebagi fase mengolah akal, raga, rasa dan diri menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan tiap tahapan di dalamnya mendorong insan melangkah dan membuka diri menerima realita serta mengasah kedalaman potensi -juga kesempatan yang ada. Dari memaknai suatu konsep saja sudah muncul aneka cerita dan keunikan tersendiri. Pemahaman konsep berawal dari proses pembelajaran yang mendalam. Dari situlah terbangun metode / mekanisme tertentu -entah dalam belajar, berkarya, ataupun hal lainnya- yang kemudian berkembang menjadi sebuah ketetapan dalam format / outline beralur. Saya mencontohkan, dari bertekun dalam pelajaran saja selama SMA, saya akhirnya bisa membangun variasi metode belajar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Juga kini dalam penulisan ataupun pembuatan konten, yang pada akhirnya melahirkan outline / skenario yang bernas dan terstruktur.
Begitu pula soal pilihan hidup yang makin beragam perjalanannya. Yang jadi penekanan yakni betapa nyatanya peran decision making mengantarkan kita pada pencapaian hari ini. Kalau menilik ulang lagi perjalanan hidup saya, ketetapan institusi, amal pendidik serta inspiring people lah yang mempunyai pengaruh paling besar dalam upaya penempaan diri ini. Dan sudah semestinya visi mendidik memampukan kita memerdekakan diri dan keluar dari pusaran masa lalu. Kecakapan penting lainnya ialah gainful understanding. Bertahap memahami setiap fenomena semesta yang terjadi. Merasakan dan ikut melibatkan diri langsung mengalaminya.
Setelah itu, insan terdidik juga perlu di bekali dengan keahlian membangun jalan sendiri. Utamanya dalam berkarya. Fokus pembekalan di sini adalah kesiapan memasuki dunia berkarya yang sudah menanti tantangan di sana. Intinya, kerjakan dan jalani semuanya! Karena kemahiran akan diperoleh dari situ. Itu sudah saya alami selama masa magang di Rumah Perubahan, berada dalam ekstrakurikuler komputer saat SMA, dan menjadi bagian dari yayasan maupun komunitas yang berfokus pada pengembangan masyarakat. Dan lalu mengkonversinya menjadi gainful act lewat tindakan dan karya yang punya makna bagi banyak orang. Demikian wawasan kontekstual yang harus ada dalam visi mendidik.
Energi Positif
Sejatinya ada tiga pilar terdepan dalam upaya membumikan visi mendidik: orang tua; anak didik sendiri; dan pendidik. Harus di akui, cukup sulit menciptakan harmoni antara ketiganya. Apalagi kini di era yang banyak orang tua terlalu mengagungkan kepandaian di sekolah semata. Bulan lalu (01/05/2019), saya bersama tim Yayasan Bayi Prematur Indonesia (YABAPI) kebetulan mendapat kesempatan mengisi acara Indonesia Future of Learning Summit 2019 di hadapan para pendidik dari seantero Nusantara. Kala sedang rehat, seorang pendidik datang menghampiri saya dan ia menuturkan betapa beratnya membangun sinergi bersama anak dan orang tua.
“Pengalaman membekas ketika memberi masukan pada orang tua. Setelah mendalami potensi sang anak, saya sampaikan agar ia di tempatkan di sekolah kejuruan seni (seni) yang menunjang segala hal untuk bakatnya. Tapi apa kemudian yang terjadi? Orang tuanya malah bersikeras memaksakan anak mengikuti kehendaknya bersekolah di sekolah umum”, ujarnya. Bahkan ia menambahkan orang tua tadi sampai mengambil tindakan berlebihan: memindahkan anaknya ke sekolah lain. Dan ia pun berlanjut menandaskan, “Memang aspek tersulit dalam pendidikan itu ya diantaranya kemampuan mendengarkan dan menerima dengan keterbukaan.” Always Listening, Always Understanding. Nyata ini jadi penting di segala aspek kehidupan. Dalam keluarga, perusahaan, institusi, dan lingkungan lainnya. Sampai di sini perlu kita renungkan kembali visi mendidik kita selama ini.
Mirisnya yang kerap terekspos justru cerita buruk demi cerita buruk tentang dunia pendidikan. Dan ini diperparah dengan rendahnya daya literasi masyarakat kita serta dialog yang sangat minim. Jadinya malah prasangka dan perasaan negatif yang timbul. To poison a nation, poison its stories. Benar adanya pepatah Ben Okri. Akhirnya hanya berujung kita berlarut menguras energi dua kali lebih banyak pada hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tapi harus ada langkah nyata supaya bisa mengangkat banyak cerita positif dunia pendidikan dari segenap bangsa. Caranya yakni merancang sebuah alur yang memungkinkan itu semua terjadi. Pertama, menempatkan sense of universal love sebagai garda terdepan pendidikan. Lalu mendukung dan ikut terlibat bersama teladan mumpuni yang berkomitmen mengajak semua elemen masyarakat turut berperan dalam pengamalan kebaikan. Dan muaranya ialah menyalurkan energi kita pada hal-hal yang paling membahagiakan hidup -bahkan seisi semesta. Menularkannya pada yang lain. Inilah gambaran kurikulum pendidikan sebenarnya: pendidikan yang membebaskan (pikiran) insan manusia.
Outcome-nya sudah mulai tampak. Di antaranya datang dari seniman tari, Mila Rosinta. Sudah begitu lama Mila mendalami tari dan dunia tari sejak usia dini. Mulanya masih sebatas hobi, lalu berkembang menjadi passion saking kuatnya keinginan mempelajari beragam jenis tari. Dan perlahan dalam tiap karyanya tumbuh esensi menari: menyatu dengan semesta. Visi inilah yang kemudian membawa Mila menggagas sekolah tari yang ia namai Mila Art Dance (MAD) School pada 2015. Tujuannya sedari awal mendekatkan esensi menari tadi dengan elemen masyarakat. Empat tahun berjalan hasilnya mulai terlihat. Mila berhasil menularkan visinya pada yang lain. Makin banyak yang mendaftar jadi siswa/i MAD School. Sampai ratusan. Belakangan cerita sukses ini semakin mengangkat namanya juga MAD School. Banyak yang mendatangi ingin berguru dan belajar tari disana -termasuk dari mancanegara. Itulah “Energi Positif”, penggerak utama visi mendidik.
Filosofi Ketulusan
Teman makan Teman
Saya masih ingat akan sebuah ucapan sewaktu Pesta Pendidikan kemarin, “Tak ada istilah kaya dan miskin. Semua manusia itu setara. Dan lebih baik kita mensetarakan yang lain. Tidak ada beban bila melakukannya.” Dan pemikiran bijak ini datang dari YouTuber yang tengah naik daun, Baim Wong. Mendengarnya, saya langsung tertegun. Kedekatan Baim dengan mereka yang terpinggirkan bukan pula tanpa alas an. “Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan”, ujarnya.
Seringkali kita melewatkan cara berproses demikian. Dari memahami hingga merasakan serta mengalami langsung dengan panca indra. Prosesnya pun bertahap dan butuh waktu tidak sebentar; kadang menyakitkan dan melelahkan. Filosofi ketulusan itu terbangun lewat perjuangan melepaskan segala urusan keduniaan dan kepentingan diri (self-interest). Lantas untuk apa kita mengejar kesemuan belaka ketimbang memperbanyak amal?
Generasi mendatang perlu kita bersama bekali kemampuan mengolah hati nurani. Kelak mereka akan menghadapi tantangan demi tantangan yang kerap menguji kesungguhan hati nuraninya. Dan ujian senyatanya adalah ketika hati nurani sudah berada pada fase “Helping, Caring and Loving”. Bukan hal yang mudah. Sebab ketulusan tak hanya tampak dari kejujuran, melainkan sejauh apa kita memaknai pengorbanan. Itulah visi mendidik yang mesti kita galakkan kembali.
Juan Karnadi
Volunteer JABODETABEK
Sedekah Buku Indonesia
Selamat datang para pembelajar! Semoga gairah belajar kalian tak sekedar jadi antusiasme belaka yang cepat menguap. Kelak tak ada lagi persepsi yang memaknai pendidikan sebagai interaksi pembelajaran searah belaka antara pendidik dengan muridnya, apalagi transfer ilmu semata. Sebab visi mendidik lebih dari sebatas belajar; melainkan menggerakkan kehidupan lewat ragam pengetahuan yang ada di dalamnya.
Wawasan Kontekstual
Pesta Pendidikan 2019 beberapa waktu lalu (02/05/2019) merupakan momentum bagi semua kita mengartikan wawasan secara kontekstual sebagi fase mengolah akal, raga, rasa dan diri menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan tiap tahapan di dalamnya mendorong insan melangkah dan membuka diri menerima realita serta mengasah kedalaman potensi -juga kesempatan yang ada. Dari memaknai suatu konsep saja sudah muncul aneka cerita dan keunikan tersendiri. Pemahaman konsep berawal dari proses pembelajaran yang mendalam. Dari situlah terbangun metode / mekanisme tertentu -entah dalam belajar, berkarya, ataupun hal lainnya- yang kemudian berkembang menjadi sebuah ketetapan dalam format / outline beralur. Saya mencontohkan, dari bertekun dalam pelajaran saja selama SMA, saya akhirnya bisa membangun variasi metode belajar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Juga kini dalam penulisan ataupun pembuatan konten, yang pada akhirnya melahirkan outline / skenario yang bernas dan terstruktur.
Begitu pula soal pilihan hidup yang makin beragam perjalanannya. Yang jadi penekanan yakni betapa nyatanya peran decision making mengantarkan kita pada pencapaian hari ini. Kalau menilik ulang lagi perjalanan hidup saya, ketetapan institusi, amal pendidik serta inspiring people lah yang mempunyai pengaruh paling besar dalam upaya penempaan diri ini. Dan sudah semestinya visi mendidik memampukan kita memerdekakan diri dan keluar dari pusaran masa lalu. Kecakapan penting lainnya ialah gainful understanding. Bertahap memahami setiap fenomena semesta yang terjadi. Merasakan dan ikut melibatkan diri langsung mengalaminya.
Setelah itu, insan terdidik juga perlu di bekali dengan keahlian membangun jalan sendiri. Utamanya dalam berkarya. Fokus pembekalan di sini adalah kesiapan memasuki dunia berkarya yang sudah menanti tantangan di sana. Intinya, kerjakan dan jalani semuanya! Karena kemahiran akan diperoleh dari situ. Itu sudah saya alami selama masa magang di Rumah Perubahan, berada dalam ekstrakurikuler komputer saat SMA, dan menjadi bagian dari yayasan maupun komunitas yang berfokus pada pengembangan masyarakat. Dan lalu mengkonversinya menjadi gainful act lewat tindakan dan karya yang punya makna bagi banyak orang. Demikian wawasan kontekstual yang harus ada dalam visi mendidik.
Energi Positif
Sejatinya ada tiga pilar terdepan dalam upaya membumikan visi mendidik: orang tua; anak didik sendiri; dan pendidik. Harus di akui, cukup sulit menciptakan harmoni antara ketiganya. Apalagi kini di era yang banyak orang tua terlalu mengagungkan kepandaian di sekolah semata. Bulan lalu (01/05/2019), saya bersama tim Yayasan Bayi Prematur Indonesia (YABAPI) kebetulan mendapat kesempatan mengisi acara Indonesia Future of Learning Summit 2019 di hadapan para pendidik dari seantero Nusantara. Kala sedang rehat, seorang pendidik datang menghampiri saya dan ia menuturkan betapa beratnya membangun sinergi bersama anak dan orang tua.
“Pengalaman membekas ketika memberi masukan pada orang tua. Setelah mendalami potensi sang anak, saya sampaikan agar ia di tempatkan di sekolah kejuruan seni (seni) yang menunjang segala hal untuk bakatnya. Tapi apa kemudian yang terjadi? Orang tuanya malah bersikeras memaksakan anak mengikuti kehendaknya bersekolah di sekolah umum”, ujarnya. Bahkan ia menambahkan orang tua tadi sampai mengambil tindakan berlebihan: memindahkan anaknya ke sekolah lain. Dan ia pun berlanjut menandaskan, “Memang aspek tersulit dalam pendidikan itu ya diantaranya kemampuan mendengarkan dan menerima dengan keterbukaan.” Always Listening, Always Understanding. Nyata ini jadi penting di segala aspek kehidupan. Dalam keluarga, perusahaan, institusi, dan lingkungan lainnya. Sampai di sini perlu kita renungkan kembali visi mendidik kita selama ini.
Mirisnya yang kerap terekspos justru cerita buruk demi cerita buruk tentang dunia pendidikan. Dan ini diperparah dengan rendahnya daya literasi masyarakat kita serta dialog yang sangat minim. Jadinya malah prasangka dan perasaan negatif yang timbul. To poison a nation, poison its stories. Benar adanya pepatah Ben Okri. Akhirnya hanya berujung kita berlarut menguras energi dua kali lebih banyak pada hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tapi harus ada langkah nyata supaya bisa mengangkat banyak cerita positif dunia pendidikan dari segenap bangsa. Caranya yakni merancang sebuah alur yang memungkinkan itu semua terjadi. Pertama, menempatkan sense of universal love sebagai garda terdepan pendidikan. Lalu mendukung dan ikut terlibat bersama teladan mumpuni yang berkomitmen mengajak semua elemen masyarakat turut berperan dalam pengamalan kebaikan. Dan muaranya ialah menyalurkan energi kita pada hal-hal yang paling membahagiakan hidup -bahkan seisi semesta. Menularkannya pada yang lain. Inilah gambaran kurikulum pendidikan sebenarnya: pendidikan yang membebaskan (pikiran) insan manusia.
Outcome-nya sudah mulai tampak. Di antaranya datang dari seniman tari, Mila Rosinta. Sudah begitu lama Mila mendalami tari dan dunia tari sejak usia dini. Mulanya masih sebatas hobi, lalu berkembang menjadi passion saking kuatnya keinginan mempelajari beragam jenis tari. Dan perlahan dalam tiap karyanya tumbuh esensi menari: menyatu dengan semesta. Visi inilah yang kemudian membawa Mila menggagas sekolah tari yang ia namai Mila Art Dance (MAD) School pada 2015. Tujuannya sedari awal mendekatkan esensi menari tadi dengan elemen masyarakat. Empat tahun berjalan hasilnya mulai terlihat. Mila berhasil menularkan visinya pada yang lain. Makin banyak yang mendaftar jadi siswa/i MAD School. Sampai ratusan. Belakangan cerita sukses ini semakin mengangkat namanya juga MAD School. Banyak yang mendatangi ingin berguru dan belajar tari disana -termasuk dari mancanegara. Itulah “Energi Positif”, penggerak utama visi mendidik.
Filosofi Ketulusan
Teman makan Teman
Saya masih ingat akan sebuah ucapan sewaktu Pesta Pendidikan kemarin, “Tak ada istilah kaya dan miskin. Semua manusia itu setara. Dan lebih baik kita mensetarakan yang lain. Tidak ada beban bila melakukannya.” Dan pemikiran bijak ini datang dari YouTuber yang tengah naik daun, Baim Wong. Mendengarnya, saya langsung tertegun. Kedekatan Baim dengan mereka yang terpinggirkan bukan pula tanpa alas an. “Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan”, ujarnya.
Seringkali kita melewatkan cara berproses demikian. Dari memahami hingga merasakan serta mengalami langsung dengan panca indra. Prosesnya pun bertahap dan butuh waktu tidak sebentar; kadang menyakitkan dan melelahkan. Filosofi ketulusan itu terbangun lewat perjuangan melepaskan segala urusan keduniaan dan kepentingan diri (self-interest). Lantas untuk apa kita mengejar kesemuan belaka ketimbang memperbanyak amal?
Generasi mendatang perlu kita bersama bekali kemampuan mengolah hati nurani. Kelak mereka akan menghadapi tantangan demi tantangan yang kerap menguji kesungguhan hati nuraninya. Dan ujian senyatanya adalah ketika hati nurani sudah berada pada fase “Helping, Caring and Loving”. Bukan hal yang mudah. Sebab ketulusan tak hanya tampak dari kejujuran, melainkan sejauh apa kita memaknai pengorbanan. Itulah visi mendidik yang mesti kita galakkan kembali.
Juan Karnadi
Volunteer JABODETABEK
Sedekah Buku Indonesia
Selamat datang para pembelajar! Semoga gairah belajar kalian tak sekedar jadi antusiasme belaka yang cepat menguap. Kelak tak ada lagi persepsi yang memaknai pendidikan sebagai interaksi pembelajaran searah belaka antara pendidik dengan muridnya, apalagi transfer ilmu semata. Sebab visi mendidik lebih dari sebatas belajar; melainkan menggerakkan kehidupan lewat ragam pengetahuan yang ada di dalamnya.
Wawasan Kontekstual
Pesta Pendidikan 2019 beberapa waktu lalu (02/05/2019) merupakan momentum bagi semua kita mengartikan wawasan secara kontekstual sebagi fase mengolah akal, raga, rasa dan diri menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan tiap tahapan di dalamnya mendorong insan melangkah dan membuka diri menerima realita serta mengasah kedalaman potensi -juga kesempatan yang ada. Dari memaknai suatu konsep saja sudah muncul aneka cerita dan keunikan tersendiri. Pemahaman konsep berawal dari proses pembelajaran yang mendalam. Dari situlah terbangun metode / mekanisme tertentu -entah dalam belajar, berkarya, ataupun hal lainnya- yang kemudian berkembang menjadi sebuah ketetapan dalam format / outline beralur. Saya mencontohkan, dari bertekun dalam pelajaran saja selama SMA, saya akhirnya bisa membangun variasi metode belajar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Juga kini dalam penulisan ataupun pembuatan konten, yang pada akhirnya melahirkan outline / skenario yang bernas dan terstruktur.
Begitu pula soal pilihan hidup yang makin beragam perjalanannya. Yang jadi penekanan yakni betapa nyatanya peran decision making mengantarkan kita pada pencapaian hari ini. Kalau menilik ulang lagi perjalanan hidup saya, ketetapan institusi, amal pendidik serta inspiring people lah yang mempunyai pengaruh paling besar dalam upaya penempaan diri ini. Dan sudah semestinya visi mendidik memampukan kita memerdekakan diri dan keluar dari pusaran masa lalu. Kecakapan penting lainnya ialah gainful understanding. Bertahap memahami setiap fenomena semesta yang terjadi. Merasakan dan ikut melibatkan diri langsung mengalaminya.
Setelah itu, insan terdidik juga perlu di bekali dengan keahlian membangun jalan sendiri. Utamanya dalam berkarya. Fokus pembekalan di sini adalah kesiapan memasuki dunia berkarya yang sudah menanti tantangan di sana. Intinya, kerjakan dan jalani semuanya! Karena kemahiran akan diperoleh dari situ. Itu sudah saya alami selama masa magang di Rumah Perubahan, berada dalam ekstrakurikuler komputer saat SMA, dan menjadi bagian dari yayasan maupun komunitas yang berfokus pada pengembangan masyarakat. Dan lalu mengkonversinya menjadi gainful act lewat tindakan dan karya yang punya makna bagi banyak orang. Demikian wawasan kontekstual yang harus ada dalam visi mendidik.
Energi Positif
Sejatinya ada tiga pilar terdepan dalam upaya membumikan visi mendidik: orang tua; anak didik sendiri; dan pendidik. Harus di akui, cukup sulit menciptakan harmoni antara ketiganya. Apalagi kini di era yang banyak orang tua terlalu mengagungkan kepandaian di sekolah semata. Bulan lalu (01/05/2019), saya bersama tim Yayasan Bayi Prematur Indonesia (YABAPI) kebetulan mendapat kesempatan mengisi acara Indonesia Future of Learning Summit 2019 di hadapan para pendidik dari seantero Nusantara. Kala sedang rehat, seorang pendidik datang menghampiri saya dan ia menuturkan betapa beratnya membangun sinergi bersama anak dan orang tua.
“Pengalaman membekas ketika memberi masukan pada orang tua. Setelah mendalami potensi sang anak, saya sampaikan agar ia di tempatkan di sekolah kejuruan seni (seni) yang menunjang segala hal untuk bakatnya. Tapi apa kemudian yang terjadi? Orang tuanya malah bersikeras memaksakan anak mengikuti kehendaknya bersekolah di sekolah umum”, ujarnya. Bahkan ia menambahkan orang tua tadi sampai mengambil tindakan berlebihan: memindahkan anaknya ke sekolah lain. Dan ia pun berlanjut menandaskan, “Memang aspek tersulit dalam pendidikan itu ya diantaranya kemampuan mendengarkan dan menerima dengan keterbukaan.” Always Listening, Always Understanding. Nyata ini jadi penting di segala aspek kehidupan. Dalam keluarga, perusahaan, institusi, dan lingkungan lainnya. Sampai di sini perlu kita renungkan kembali visi mendidik kita selama ini.
Mirisnya yang kerap terekspos justru cerita buruk demi cerita buruk tentang dunia pendidikan. Dan ini diperparah dengan rendahnya daya literasi masyarakat kita serta dialog yang sangat minim. Jadinya malah prasangka dan perasaan negatif yang timbul. To poison a nation, poison its stories. Benar adanya pepatah Ben Okri. Akhirnya hanya berujung kita berlarut menguras energi dua kali lebih banyak pada hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tapi harus ada langkah nyata supaya bisa mengangkat banyak cerita positif dunia pendidikan dari segenap bangsa. Caranya yakni merancang sebuah alur yang memungkinkan itu semua terjadi. Pertama, menempatkan sense of universal love sebagai garda terdepan pendidikan. Lalu mendukung dan ikut terlibat bersama teladan mumpuni yang berkomitmen mengajak semua elemen masyarakat turut berperan dalam pengamalan kebaikan. Dan muaranya ialah menyalurkan energi kita pada hal-hal yang paling membahagiakan hidup -bahkan seisi semesta. Menularkannya pada yang lain. Inilah gambaran kurikulum pendidikan sebenarnya: pendidikan yang membebaskan (pikiran) insan manusia.
Outcome-nya sudah mulai tampak. Di antaranya datang dari seniman tari, Mila Rosinta. Sudah begitu lama Mila mendalami tari dan dunia tari sejak usia dini. Mulanya masih sebatas hobi, lalu berkembang menjadi passion saking kuatnya keinginan mempelajari beragam jenis tari. Dan perlahan dalam tiap karyanya tumbuh esensi menari: menyatu dengan semesta. Visi inilah yang kemudian membawa Mila menggagas sekolah tari yang ia namai Mila Art Dance (MAD) School pada 2015. Tujuannya sedari awal mendekatkan esensi menari tadi dengan elemen masyarakat. Empat tahun berjalan hasilnya mulai terlihat. Mila berhasil menularkan visinya pada yang lain. Makin banyak yang mendaftar jadi siswa/i MAD School. Sampai ratusan. Belakangan cerita sukses ini semakin mengangkat namanya juga MAD School. Banyak yang mendatangi ingin berguru dan belajar tari disana -termasuk dari mancanegara. Itulah “Energi Positif”, penggerak utama visi mendidik.
Filosofi Ketulusan
Teman makan Teman
Saya masih ingat akan sebuah ucapan sewaktu Pesta Pendidikan kemarin, “Tak ada istilah kaya dan miskin. Semua manusia itu setara. Dan lebih baik kita mensetarakan yang lain. Tidak ada beban bila melakukannya.” Dan pemikiran bijak ini datang dari YouTuber yang tengah naik daun, Baim Wong. Mendengarnya, saya langsung tertegun. Kedekatan Baim dengan mereka yang terpinggirkan bukan pula tanpa alas an. “Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan”, ujarnya.
Seringkali kita melewatkan cara berproses demikian. Dari memahami hingga merasakan serta mengalami langsung dengan panca indra. Prosesnya pun bertahap dan butuh waktu tidak sebentar; kadang menyakitkan dan melelahkan. Filosofi ketulusan itu terbangun lewat perjuangan melepaskan segala urusan keduniaan dan kepentingan diri (self-interest). Lantas untuk apa kita mengejar kesemuan belaka ketimbang memperbanyak amal?
Generasi mendatang perlu kita bersama bekali kemampuan mengolah hati nurani. Kelak mereka akan menghadapi tantangan demi tantangan yang kerap menguji kesungguhan hati nuraninya. Dan ujian senyatanya adalah ketika hati nurani sudah berada pada fase “Helping, Caring and Loving”. Bukan hal yang mudah. Sebab ketulusan tak hanya tampak dari kejujuran, melainkan sejauh apa kita memaknai pengorbanan. Itulah visi mendidik yang mesti kita galakkan kembali.
Juan Karnadi
Volunteer JABODETABEK
Sedekah Buku Indonesia